Menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri. Karena itu dapat dimaklumi betapa sulitnya menemukan seseorang yang secara dini mau mengakui dirinya mengidap penyakit menular seksual, bahkan kepada dokter. Kecuali kalau sudah kepepet.

Sikap demikian mestinya dibuang jauh-jauh bila menyangkut penyakit herpes genitalis alias dhompo. Kalau tidak, pada gilirannya bisa menghancurkan masa depan anak yang lahir dari orangtua pengidap, akibat cacat yang diderita.

Saat ini, AIDS memang momok yang menakutkan. Yang lebih mengkhawatirkan, virusnya menyebar dengan sangat cepat. Hingga Desember 1997, menurut Yayasan Pelita Ilmu, Jakarta, di seluruh Indonesia jumlah total penderita HIV/AIDS mencapai 619 orang dengan komposisi HIV positif 466 orang, sedangkan penderita AIDS sebanyak 153 orang.

Prevalensi penderita pria dan wanita sebesar 65,7% dan 34,3%. Malah, dalam waktu kurang dari dua tahun jumlah pengidap HIV/AIDS meningkat sebesar 58,7% dari 390 orang yang tercatat per Maret 1996. Sedangkan kontak seksual dengan penderita seropositif HIV menjadi porsi terbesar penularan HIV. Penularan itu makin mudah terjadi pada penderita penyakit menular seksual (PMS).

Tak aneh bila PMS sering disebut pintu gerbang penularan HIV/AIDS. Apalagi gejala minor AIDS menyebutkan, indikasi herpes zoster yang berulang ataupun herpes simpleks kronis, berkembang dan bertambah banyak. Padahal, menurut dr. Sjaiful Fahmi Daili, ketua Indonesia Herpes Studies Group, dalam beberapa tahun terakhir ini jumlah pengidap virus herpes genitalis (HSV-2) di berbagai negara terus meningkat.

Ambil contoh, laporan Centre for Disease Control Atlanta, yang menyebutkan angka sekitar 20 juta pengidap herpes genitalis di AS, dengan pertambahan 10.000 kasus baru per minggu. Ternyata angka jutaan itu hanya merepresentasikan 20% pengidap HSV-2 yang terdeteksi secara klinis, belum termasuk kasus seropositif HSV-2 yang tidak terdeteksi dan terdiagnosis (Corey, 1994; Koutsky et al, 1992).

Ini karena herpes genitalis bisa menular melalui kontak fisik dengan penderita kambuhan atau seropositif asimtomatik (tanpa gejala infeksi). Sedangkan di Indonesia, menurut dr. Sjaiful yang ahli penyakit kulit dan kelamin dari RSCM-FKUI, insiden herpes genitalis berkisar 3 - 4% dari seluruh penyakit hubungan seksual. Mirip gejala flu Saat ini dikenal dua macam herpes yakni herpes zoster dan herpes simpleks; keduanya berasal dari virus yang berbeda. Zoster, atau dalam bahasa Jawa disebut dhompo, disebabkan oleh virus Varicella zoster. Sifat penyakitnya lebih ringan dibandingkan dengan jenis simpleks akibat Herpes Simpleks Virus (HSV).

Zoster tumbuh dalam bentuk ruam memanjang pada bagian tubuh kanan atau kiri saja. HSV-1 umumnya menyerang bagian badan dari pinggang ke atas sampai di sekitar mulut (herpes simpleks labialis). Sedangkan HSV-2 lebih menyukai bagian pinggang ke bawah. Penderitaan makin parah bila sampai menyerang daerah genital, yang kemudian disebut herpes genitalis.

Penderita herpes genitalis kebanyakan adalah kalangan orang dewasa muda berusia 20 - 30-an, dan ini sesuai dengan cara penyebarannya yaitu melalui kontak seksual. Namun, menurut dr. Sjaiful, terbuka kemungkinan herpes genitalis disebabkan oleh HSV-1 (sekitar 16,1%) akibat hubungan kelamin secara orogenital atau penularan melalui tangan.

Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Herpes genitalis primer memiliki masa tunas atau inkubasi antara 4 - 7 hari.

Pada awalnya, penderita akan merasakan gejala seperti tidak enak badan, demam, sakit kepala, kelelahan, serta sakit otot, terutama di bagian kaki. Dilanjutkan dengan rasa gatal dan agak panas seperti ditusuk-tusuk pada bagian kulit yang ditumbuhi vesicle (vesikel = gelembung). Kemudian kulit tampak kemerahan dan muncullah vesikel yang bergerombol dengan ukuran sama besar.

Vesikel yang berisi cairan ini mudah pecah sehingga menimbulkan luka yang melebar. Bahkan ada kalanya kelenjar getah bening di sekitarnya membesar dan terasa nyeri bila diraba. Pada pria gejala akan tampak lebih jelas karena tumbuh pada kulit bagian luar kelenjar penis, batang penis, buah zakar, atau daerah anus. Sebaliknya, pada wanita gejala itu sulit terdeteksi karena letaknya tersembunyi.

Herpes genitalis pada wanita biasanya menyerang bagian labia majora, labia minora, klitoris, malah acap kali leher rahim (serviks) tanpa gejala klinis. Gejala itu sering disertai uretritis berupa rasa nyeri pada saluran kencing. Beruntung bila terjadi kasus episode I non-infeksi primer.

Artinya, infeksi sudah lama berlangsung, tetapi sebelum timbul gejala klinis tubuh sudah membentuk zat anti. Sehingga saat masuk episode I, kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila penderita pernah terkena HSV-1, antibodi HSV-1 sudah terbentuk, akibatnya infeksi HSV-2 akan lebih ringan dan sering muncul tanpa gejala.

Namun, karena bersifat permanen, bila suatu ketika timbul faktor pencetus, virus akan aktif dan berkembang kembali mengakibatkan infeksi ulang. Saat itu, karena tubuh hospes sudah memiliki antibodi spesifik, kelainan yang timbul dan gejalanya mungkin tidak seberat infeksi primer.

Adapun faktor pencetus kambuhnya herpes antara lain trauma (luka), hubungan seksual berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres, kelelahan, alkohol, obat-obatan, haid (pada wanita), serta sinar ultraviolet. Dibandingkan dengan gejala klinis serangan primer yang akan hilang setelah dua minggu, gejala serangan ulang ini sudah hilang dalam waktu 7 - 10 hari.

Frekuensi rata-rata kambuh gejala infeksi HSV sekitar empat kali per tahun (John et al, 1993), meski ada juga yang mengalami hingga lebih dari 12 kali setahun. Herpes genitalis pada orang dengan imunodefisiensi (gangguan fungsi kekebalan tubuh) bisa berakibat cukup progresif berupa lesi (semacam luka) dalam, bahkan lebih luas, pada daerah sekitar kelamin dan dubur. Namun pada imunodefisiensi ringan keluhan yang muncul berupa tingginya frekuensi kambuh dengan penyembuhan lebih lama.

Proteksi individual Kematian akibat infeksi HSV-2 pada orang dewasa memang jarang terjadi. Namun herpes genitalis perlu penanganan serius, selain karena belum ada obat atau vaksin yang efektif, perkembangan akibatnya pun sulit diramalkan.

Infeksi primer dini yang segera diobati mempunyai prediksi akibat yang lebih baik, sedangkan infeksi rekuren (berulang) hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya. Karena rasa nyeri dan gejala lainnya yang bervariasi, biasanya pasien akan mendapatkan obat analgetik, antipiretik, serta obat antivirus, misalnya interferon, sesuai dengan kebutuhan individual.

Selain itu ada juga zat pengering antiseptik yang secara topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder, dan mempercepat penyembuhan. Hasil pengobatan selama ini mampu mengurangi perkembangan virus secara dramatis, meski bukan merupakan jaminan tidak akan kambuh penyakitnya. Malah, menurut Kinghorn dkk. (1986), ada pengobatan yang, selain mampu menyerang hanya sel-sel terinfeksi, juga memperpendek waktu penyembuhan lesi. Namun, karena kemungkinan munculnya efek sampingan, semua pengobatan itu harus di bawah pengawasan dokter.

Suami atau istri dengan pasangan yang pernah terinfeksi herpes genitalis perlu melakukan proteksi individual berupa penggunaan dua macam alat perintang, yaitu spermicidal foam (busa pembasmi sperma) dan kondom.

Spermicidal foam secara in vitro (di laboratorium) mampu mematikan virus, sedangkan kondom untuk menghambat atau mengurangi penetrasi virus. Kombinasi kedua pencegahan itu, yang kemudian disusul dengan pencucian alat kelamin dengan air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah penularan herpes genitalis hampir 100% (RAAB dan Lorincs, 1981).

Sementara itu si pengidap harus berusaha menyingkirkan faktor-faktor pencetusnya. Selain itu perlu pengobatan psikiatrik yang membantu mengatasi faktor psikis. Terutama pada pengidap kambuhan, faktor itu berperan dalam memunculkan serangan yang meski tidak separah episode primer, namun melibatkan tambahan gangguan kejiwaan. Ancaman terhadap bayi

Herpes genitalis pada mulut rahim yang acap kali tanpa gejala klinis bukanlah ancaman ringan, apalagi bagi wanita hamil. HSV-2 bisa mempengaruhi kondisi kehamilan maupun janin atau bayinya.

Bila penularan (transmisi) terjadi pada trisemester I kehamilan, hal itu cenderung mengakibatkan abortus. Sedangkan pada trisemester II bisa terjadi kelahiran prematur. Kelainan akibat herpes pada bayi sangat beragam, mulai dari lesi hingga di antaranya ensefalitis (radang selaput otak), mikrosefali (kepala kecil), atau hidrosefali (busung kepala). Infeksi terhadap bayi baru lahir bisa berakibat fatal.

Terbukti dengan tercatatnya angka mortalitas sebesar 60%, sementara setengah dari yang hidup akan menderita cacat saraf atau kelainan pada mata. Risiko tinggi penularan HSV ini terutama terjadi pada wanita hamil dengan infeksi primer, yaitu ibu yang belum memiliki antibodi terhadap HSV namun pasangannya seropositif; atau dilakukannya prosedur invasif saat intrapartum (saat proses kelahiran) terhadap bayi dari ibu dengan riwayat herpes genitalis atau seropositif HSV. P

enularan pada bayi sebagian besar (90%) terjadi saat proses kelahiran, 5% pada janin melalui plasenta atau langsung mengenai fetus (janin). Selebihnya, 5%, infeksi HSV diperoleh sehabis masa persalinan. Kontak lama dengan cairan terinfeksi dapat meningkatkan risiko bayi tertular. Maka, pada wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer, dalam enam minggu terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk menjalani bedah caesar sebelum atau dalam empat jam sesudah pecah ketuban.

Kecuali itu, tindakan bedah caesar akan dilakukan pada wanita dengan perkembangan virus pada saat atau hampir melahirkan. Kendati begitu, bedah caesar memang tidak selalu dilakukan pada wanita pengidap herpes genitalis kambuhan. Untuk menjamin kepastiannya, perlu dilakukan pemeriksaan virus dan darah mulai usia kehamilan 32 - 36 minggu.

Selanjutnya, setidaknya tiap minggu, dilakukan kultur sekret serviks dan genital eksternal. Bila kultur virus yang diinkubasi minimal empat hari memberikan hasil negatif dua kali berturut-turut, serta tidak muncul lesi genital saat melahirkan, persalinan normal bisa dilakukan.

Pada infeksi primer, wanita hamil masih dipertimbangkan untuk mendapatkan obat tertentu. Acuannya adalah persetujuan pada pertemuan Internasional Herpes Management Forum di San Fransisco, AS, pada 13 -15 November 1994, mengenai penatalaksanaan herpes genitalis pada wanita hamil dengan mempertimbangkan apakah infeksi itu primer atau kambuhan, serta usia kehamilannya.

Tindakan terhadap bayi dari ibu penderita herpes genitalis beragam, di antaranya ada rumah sakit yang menganjurkan isolasi. Selanjutnya, pada bayi dilakukan pemeriksaan kultur virus, fungsi hati, dan cairan serebrospinalis (otak), selain pengawasan ketat selama bulan pertama kehidupannya.

Spesimen untuk kultur virus diambil dari mata, mulut, dan lesi kulit. Infeksi herpes simpleks pada bayi yang baru lahir memang sangat mengkhawatirkan dan memberikan prediksi akibat yang buruk bila tidak segera diobati. Untungnya, pengobatan selama ini mampu menurunkan angka kematian, demikian juga mencegah progresivitas penyakit berupa infeksi herpes pada susunan saraf pusat atau infeksi diseminata (penyebaran ke bagian tubuh lain).