Mahira (1.5 tahun) tampak berselera menghadapi makanan di atas piring makan merah jambu yang disediakan bundanya. Tangan kanannya yang mungil erat memegang sendok, yang tidak pernah lama berhenti bergerak menyodorkan makanan dari piring ke mulut mungilnya. “Wah, anak-anak bunda makin pintar makan sendiri ya?” puji Santi (31 tahun) pada putri pertamanya itu. Sebenarnya tak seluruh makanan yang disendokkan, masuk ke mulut kecil Mahira. Sebagian jatuh berserak makanan. Meskipun sudah bisa makan sendiri, namun boleh dibilang Mahira belum mampu makan dengan benar.
Menurut psikolog anak, Rahmi Dahnan, Psi. dari Yayasan Kita dan Buah Hati, kemampuan Mahira untuk makan sendiri, sebenarnya sejalan dengan perkembangan usianya, yang kemungkinan juga dimiliki oleh anak-anak lain seusianya.” Setelah usia 1 tahun , biasanya anak menunjukkan keinginannya untuk melakukan sesuatu secara mandiri, termasuk makan sendiri,” ujarnya. Meskipun pada prakteknya cara makan mereka masih cenderung berantakan, namun sebaiknya tidak menjadi alasan untuk melarang.
Sayangnya, lanjut Rahmi, cara makan anak yang belum sempurna itu seringkali tidak mendapatkan apresiasi dari orangtua. Karena tidak suka melihat makanan anaknya berantakan, mereka malah menganggap anaknya itu masih terlalu kecil untuk makan sendiri. Akibatnya, anakpun kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu secara mandiri. “Padahal bila orangtua semakin banyak memberi kesempatan, anak akan semakin terampil, sehingga mempertinggi kepercayaan diri si anak,” jelasnya.
Oleh karena itu,”Rahmi menyarankan agar orangtua mendukung apapun yang ingin dilakukan anak selama tidak membahayakan. Menurutnya, berbagai upaya anak untuk melakukan sesuatu, secara fisik akan mengembangkan kemampuan motorik kasar dan motorik halusnya.” Misalnya anak ingin memanjat. Sebaiknya orangtua hanya mengawasi dan menjaga saja kalau anak mau jatuh. Tapi jangan mengangkat si anak ataupun melarangnya,” terangnya.
Begitu juga bila anak ingin makan sendiri. "Biarkan saja anak makannya blepotan, berantakan ataupun lama. Karena sebelum anak berusia 2 tahun, saat itu merupakan masa yang tepat bagi anak untuk mengembangkan kemandirian yang sangat berguna untuk life skill-nya nanti,”imbuhnya. Selain itu, tambah Rahmi, jikalau anak sering diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu sendiri, pada usia 2 tahun maka anak sudah mencapai tahap otonom atau kemndirian. ”Artinya pada tahap otonom itu, anak seharusnya sudah bisa makan sendiri, pakai baju sendiri dan sudah tidak mau digendong-gendong,” terangnya.
Psikolog Sani Budiantini, Psi. dari Lembaga Psikolog Daya Insani menambahkan bahwa biasanya sebelum anak masuk dalam tahap otonom atau kemandirian, pada usia 1 tahun ke atas anak sudah memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan ingin melakukan banyak hal secara mandiri. “Disinilah peran orangtua untuk memberikan stimulasi, latihan, dan dukungan pada anak,”ungkapnya.
Salah satu cara untuk mengembangkan sikap kemandiriannya itu, menurut Sani, berdasarkan metode Montessori seharusnya orangtua memberikan media atau sarana untuk anak mencoba melakukan sesuatu sendiri, ”Kalau anak ingin membuat susu sendiri , biarkan saja meskipun berantakan. Apa sih salahnya, cuma membersihkan susu yang tumpah daripada menghambat pengalaman si kecil dan perkembangan motorik mereka, “ jelasnya. Apalagi, dijelaskan dalam metode Montessori, bahwa usia 0-6 tahun dari hidup anak merupakan masa yang sangat penting karena disaat itu anak mempunyai absorbent mind, otak yang siap belajar dan menyerap ilmu.
Dr. Hendra SpA, dari Klinik Keluarga menuturkan bahwa masa tiga tahun pertama anak adalah masa untuk membangun fondasi struktur otak yang berdampak permanen terhadap karakter anak. Oleh karena itu para orangtua harus mempunyai pemahaman yang benar tentang pola asuh yang ramah otak,”ucapnya.
Hendra menambahkan, semua pengalaman pada usia dini memegang kunci penting dalam membangun fondasi dan semua kemampuan otak. Inilah sebabnya mengapa orang-orang tua harus melindungi anak-anaknya terhadap lingkungan yang buruk. Apabila lingkungan anak tidak bagus, misalnya penuh kekerasan, tidak ada stimulasi (sosial,emosi, motorik dan kognitif), maka semua potensi yang sejatinya dimiliki semua anak, menjadi tidak berkembang.
Sebaiknya apabila lingkungan anak aman, penuh kasih sayang, dan kaya dengan stimulasi, maka semua potensi anak akan berkembang optimal.”Semua stimulasi inilah yang akan direspon otak dan akan direkam secara permanen untuk menanggapi situasi serupa dikemudian hari,” imbuh Hendra. Hendrapun menyarankan agar para orang-orang tua jangan terlalu banyak melarang anak terhadap hal-hal yang tidak terlalu prinsip. Misalnya saat anak bermain-main kotoran, yang penting dia gembira dan dalam pengawasan orangtua,” ucapnya.
Tentunya, orangtua harus sabar dalam menghadapi keingintahuan yang sangat besar dari sikecil. Ingatlah bahwa ini merupakan proses belajar dan penyerapan ilmu baginya. ”Keingintahuan anak adalah proses belajar untuk menyerap ilmu, jadi butuh kesabaran dan ketelatenan untuk mendapatkan hasil yang optimal,” ucap Sani. Dan yang terpenting bagi orangtua adalah membiasakan dan mengajari anak untuk melakukan sesuatu secara tepat dan benar. ”Ajari anak cara minum, makan dan memegang sebuah alat dengan tepat dan benar,” tandasnya.
Menghadapi anak usia batita, memang memerlukan kesabaran. Ketika sudah bisa belajar sendiri, mereka seperti tidak pernah lelah “menjelajah”. Selain kakinya,tangannyapun seperti ingin memegang semua yang menarik perhatiannya. Keingintahuan dan kemauannya besar, meskipun kemampuannya berkomunikasi masih terbatas. Oleh karena itu, orangtua harus mengetahui aspek-aspek perkembangan anak.
Perkembangan Fisik
Berkaitan dengan perkembangan gerakan motorik, yakni pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak dan spinal cord. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. “Motorik kasar adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot-otot besar, sebagian besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu,” jelas Rahmi. Contohnya, kemampuan menendang, memenjat, berlari, naik turun dan sebagainya.
Sedangkan motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot-otot halus atau sebagian anggota tubuh tertentu, yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan berlatih. Misalnya, kemampuan memegang alat, mencoret-coret, menyusun balok, menggunting, menulis dan sebagainya. “Perkembangan motorik kasar dan halus diperlukan agar anak dapat berkembang optimal,” ucap Rahmi. Perkembangan motorik kasar sangat tergantung kematangan anak, sementara motorik halus bisa dilatih.
Perkembangan Emosi
Agar perkembangan emosi anak berjalan baik, peranan orangtua sangatlah penting sejak anak masih kecil.Orangtua harus bisa memberikan kehangatan dengan sentuhan, pelukan, dan pujian sehingga anak merasa nyaman. ”Anak belajar dari lingkungan keluarganya. Apa yang anak rasakan, juga akan ia berikan kembali ke lingkungannya. Jika orangtuanya bersikap baik padanya, sianakpun akan bersikap sama terhadap lingkungannya. Karena yang terekam dalam otak si anak adalah mamaku baik berarti orang-orang disekitarku juga baik,” ujar Rahmi. Tapi jika orangtua tidak pernah memberikan kenyamanan pada anak, anakpun akan merasa ditolak. ”Akibatnya, akan mempengaruhi kemampuan anak berinteraksi dengan lingkungan,” ucapnya. Anak akan takut mencoba, malu bertemu dengan orang, dan sebagainya.
Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif atau proses berpikir anak adalah proses menerima, mengelola sampai memahami informasi yang diterima. Aspeknya antara lain intelegensi, kemampuan memecahkan masalah, serta kemampuan berpikir logis. ”Intinya adalah kemampuan anak mengembangkan kemampuan berpikirnya,” terang Rahmi. Kemampuan ini berkaitan dengan bahasa dan bisa dilatih sejak anak mulai memahami kata.
“Pada tahap dimana anak mulai memberikan respon dan memahami kata, bisa dimasukkan informasi-informasi sederhana. Misalnya aturan-aturan yang ada dilingkungan. Bisa juga mengenalkan konsep-konsep dasar, seprti warna, angka, dan sebagainya,” jelas Rahmi. Dianjurkan, proses pengenalan terhadap konsep-konsep dasar ini sebaiknya dilakukan dengan cara bermain.
Perkembangan Psikososial
Menyangkut interaksi anak dengan lingkungannya. Misalnya di usia setahun, anak sudah bisa bermain dengan teman-teman seusianya.”terang Rahmi. Rahmipun mengingatkan agar para orangtuanya jangan overprotektif karena bisa menjadi penghambat perkembangan psikososial anak.”Akibatnya, anak akan sulit berinteraksi dengan orang yang baru dikenal, menjadi pemalu, sulit mengerjakan segala sesuatunya sendiri dan sulit berpisah dengan orangtua,” tandasnya.
Namun, terkadang meskipun orangtua memeberi kesempatan untuk melakukan sesuatu sendiri, tidak sedikit anak yang terkesan “malas” untuk melakuknanya. Tak jarang pula tingkah laku anak tiba-tiba menjadi seperti sulit diatur. Kondisi tersebut sering membuat orangtua, khususnya para ibu menjadi frustasi. ”Terkadang anak memang suka menolak dan minta sesuatu dengan cara yag membuat orangtua kesal dan kewalahan. Misalnya, anak menangis menjerit-jerit atau tidak mau beranjak dari toko mainan ketika meminta mainan baru,” ujar Rahmi.
Namun sebelum mulai menerapkan strategi untuk mengatasi sikecil yang merajuk, sebaiknya perhatikan dulu kondisinya. Rewel atau marah-marah karena keinginannya tak terpenuhi, juga dilakukan anak-anak ketika merasa rasa lapar, lelah, atau sakit. ”Jika orangtua salah menangkap kebutuhan si anak, dengan berasumsi bahwa anaknya hanya sekadar mencari perhatian, maka anak itu akan merasa terabaikan dan ditolak, dan hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar,” tandasnya.
?