Kecerdasan sosial atau dikenal dengan istilah SQ (Social Quotient) adalah suatu kemampuan manusia untuk menggunakan kepintarannya dalam bernegosiasi dan melakukan hubungan sosial yang kompleks di lingkungannya. Ahli psikologi mempercayai kecerdasan sosial adalah ‘kekayaan’ kualitas hidup untuk berhubungan dengan keadaan sekitarnya, atau memiliki kesadaran / awareness sosial yang berkembang dalam suatu sikap dan perilaku untuk mengubah situasi sosial yang rumit. Seseorang dengan kecerdasan sosial yang tinggi tidak berarti lebih baik atau lebih buruk daripada seseorang dengan SQ yang rendah. Keduanya hanya berbeda dalam perilaku, harapan, minat dan keinginan.
Nilai yang diukur dari SQ serupa dengan nilai standar yang digunakan untuk mengukur IQ, namun tidak bersifat standar atau tetap. Seseorang dapat memiliki perubahan SQ dengan mengubah sikap dan perilakunya saat memberikan respon terhadap lingkungan sosial di sekitarnya, seperti bagaimana seseorang memberikan respon terhadap hubungan keluarga, bagaimana bekerja sama dengan kawan, bagaimana mengatasi pertikaian atau pertengkaran dan bagaimana berbaikan setelahnya, serta hubungan timbal balik dengan sesama. Ada ahli yang menyimpulkan bahwa kecerdasan sosial berpengaruh terhadap perkembangan otak dan mendukung kemampuan dan kepintaran dalam hal-hal yang berkaitan dengan situasi sosial yang rumit, yang merupakan tuntutan dalam pergaulan.
Salah satu yang berkaitan dengan kecerdasan sosial adalah bahasa, karena kita menggunakan bahasa sebagai mediasi utama untuk berinteraksi secara sosial.
Berbahasa memerlukan kemampuan berpikir yang kompleks dan merupakan faktor kritis bagi pertumbuhan volume otak. Oleh karena itu, diperlukan stimulasi dan latihan sejak usia dini dalam menggunakan bahasa sebagai ungkapan atau empati, sehingga seorang anak dapat berkomunikasi dengan baik di lingkungan sosialnya kelak.
Salah satu yang dapat Ibu lakukan untuk mendukung kecerdasan sosial si Kecil adalah mengajaknya bergaul dan bertemu dengan orang lain serta mendorongnya untuk berkomunikasi dengan berbicara. Semakin banyak si Kecil bergaul dalam lingkungan sekitarnya dan mengadakan komunikasi bicara, maka perbendaharaan kata-kata yang diperoleh dari pertemuan tersebut akan semakin banyak. Selain pengalaman mendengar, perbendaharaan kata si Kecil dipengaruhi oleh apa yang dilihat dalam kesehariannya.
Kemampuannya dalam merangkai kata-kata menjadi kalimat membutuhkan proses yang panjang, dan tentu saja belum dapat mengutamakan tata bahasa. Oleh karena itu, ajaklah si Kecil berkomunikasi dengan pemahaman dan respon positif, sehingga si Kecil pun dapat belajar akan makna kata.
Biasanya si Kecil akan memberikan respon spontan terhadap kata-kata yang diucapkan orang lain, baik berupa respon fisik yang tampak pada ekspresi wajah atau gerakan anggota tubuh lainnya. Dengan kecerdasan sosial, si Kecil dapat mengetahui bahwa bila Ibu marah, maka nada bicaranya tinggi dan penuh tekanan, sedangkan bila Ibu membujuk tentu dengan nada lembut dan pelan. Bila Ibu berbisik, maka si Kecil akan memberikan respon curiga dan bertanya-tanya.