Golden age adalah masa “mengisi” anak dengan berbagai hal baik di masa depan, bukan hanya kecerdasan.
Magda (29 tahun), tak punya banyak waktu untuk mengasuh Shania, anaknya. Karena tinggal di daerah Bekasi dan harus bekerja di daerah Thamrin, setiap hari dia harus berangkat pukul setengah enam pagi agar tidak terlambat. Begitu pula untuk pulang, saban hari rata–rata jam sembilan malam dia baru sampai di rumah. Itu artinya, seringkali Magda harus berangkat ketika Shania belum bangun dan baru pulang ketika putri kecilnya itu sudah tertidur.
Dari buku dan majalah yang dibacanya, dia tahu kalau anak seusia Shania (2,5 tahun) sedang berada pada masa golden age dan perlu banyak distimulasi agar dapat berkembang secara optimal. Agar praktis, Magda memilih untuk menyekolahkan anaknya yang belum genap berusia tiga tahun itu. “Daripada dia dibiarkan menonton terus oleh pembantu saya, lebih baik dia sekolah,” kata Magda mengungkapkan alasan.
Magda tidak sendiri. Banyak orangtua bekerja yang memiliki pemikiran yang kurang lebih sama dengannya. Sekolah untuk anak usia dini yang kini banyak menjamur makin banyak dipilih orangtua sebagai jawaban atas ketidakhadiran mereka di saat-saat anak membutuhkan stimulasi sementara orangtuanya bekerja. Apalagi sekolah-sekolah tersebut banyak yang menjanjikan dapat mengoptimalkan perkembangan kecerdasan dan kemampuan anak. Selain itu, orangtua yang mendaftarkan anaknya pada pendidikan usia dini yang terstruktur juga meyakini bahwa semakin dini pembelajaran atau stimulasi diberikan pada anak, maka akan makin baik hasilnya. Anaknya tidak tertinggal dari anak lainnya dan “kalau bisa” menjadi Einstein kecil.
Anak butuh orangtuanya
“Orangtua sekarang memang banyak mengambil praktisnya”. Kata Indrias Aridhiana,M.Psi, psikolog dari Universitas Indonesia. “Daripada di rumah tidak ada yang menstimulasi, lebih baik dimasukkan ke tempat pendidikan anak,” sambungnya mengungkapkan alasan kebanyakan orangtua. Dengan harapan, pendidikan yang lebih terstruktur di sekolah akan memberikan dampak yang baik bagi anaknya. Padahal seharusnya, pendidikan dan pengasuhan anak, menurut Emmy Soekresno, SPd., seharusnya dilakukan oleh orangtua. “Buat saya, tetap saja anak batita seharusnya diasuh oleh ibunya, bukan orang lain,” kata konsultan pendidikan anak lulusan Universitas Negeri Jakarta itu.
Lebih tegas lagi, Elly Risman Musa, Psi, psikolog yang juga pendiri dan direktur Yayasan Kita dan Buah Hati mengatakan bahwa anak batita tidak perlu sekolah. “Otak anak belum sempurna persambungannya.” Katanya mengungkapkan alasan. Waktu lahir, Tuhan memberikan ratusan milyar sel otak yang belum berhubungan satu dengan yang lainnya. “Dengan gizi yang bagus dan rangsangan yang bagus dari ibu, barulah sambungan-sambungan otak itu menjadi ramai dan berwarna-warni. Tetapi tetap belum sempurna,” terang Elly.
Karena itu, tambah Elly, penting sekali ibu membuat kerangka dasarnya terlebih dahulu, agar di atasnya bisa dibangun apa saja. “Fondasinya adalah kedekatan antara ibu dan anak dari sebelum lahir sampai 2-3 tahun pertama,” kata Elly menjelaskan. Apa yang terjadi sekarang ini, menurut Elly, banyak sekali kesalahpahaman yang luar biasa.
Memang pada usia dini 0-8 tahun, yang masa emasnya adalah sampai 3 tahun, jaringan-jaringan otak tumbuh dan menjalin hubungan yang luar biasa. Bersamaan dengan itu, berat otak pun bertambah dari 500 gram menjadi 1250 gram, hingga mencapai puncaknya pada usia 2,5 hingga 3 tahun. Pada anak usia itu, para ahli neuroscience mengatakan, yang dibutuhkan oleh anak sebenarnya hanya “lengket” dengan ibunya.
“Kelengketan itu, pengaruhnya terhadap anak melebihi gen,” tegas Elly. Dalam hal ini, anak dan ibu melakukan apa yang disebut Elly sebagai dansa perkembangan. “ Ibu berdialog, anak merespon. Ibu menyampaikan apa yang ingin dia komunikasikan, membuat anak merasa nyaman dan melakukannya dengan hati,” katanya menjelaskan. Dengan begitu, tambahnya, maka struktur otak itu membuat pijakan-pijakan dan sambungan-sambungan yang kuat tentang hubungan ibu dan anak. “ Jadi perkembangan itu berdansa dan seperti ada iramanya sendiri. Itu yang kita sebut sebagai perkembangan,” terangnya lagi.
Setelah itu kuat, kata Elly, maka akan menjadi mudah untuk membangun apa diatasnya. “Bagaimana mau kuat, kalau bayi tiga bulan sudah ditinggal ibunya. Apalagi pengasuhnya pun berganti-ganti. Jadi tidak konstan,” katanya. Padahal, anak membutuhkan sesuatu yang konstan selama tiga tahun, dari satu sumber. “
Program untuk batita
Meski demikian, tidak berarti bahwa anak tidak perlu belajar. “Batita harus belajar, tetapi sambil bermain,” kata Elly lagi. Seperti yang diungkapkan oleh Emmy, belajar sesuai dengan prinsip kerja otak adalah harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan fokus.
Selain itu, orangtua perlu juga memperhatikan kemampuan anaknya. Menurut Indri, kebanyakan orangtua memaksakan anaknya untuk mempunyai kemampuan diatas kemampuan yang dia miliki. “Potensinya sebetulnya rata-rata, tetapi orangtua sering memaksakan anak untuk mempunyai kemampuan di atas rata-rata, dan dituntut untuk memiliki kemampuan akademik bagus. Itu sama sekali tidak bijaksana,” katanya mengungkapkan alasan.
Mengenai sekolah, Indri mengatakan, kalau anak disekolahkan tujuannya hanya untuk bersosialisasi dan mengeksplorasi sebetulnya tidak masalah, selama waktu yang diambil juga tidak terlalu banyak. “Anak-anak jaman dulu jarang mengalami kesulitan belajar atau kesulitan perkembangan lainnya. Hal itu karena eksplorasi mereka ke alam bagus,” katanya.
Sementara anak-anak sekarang cenderung bermain di dalam rumah, cenderung tidak pernah menginjak tanah, pegang apa sedikit tidak boleh karena takut kotor. “Akibatnya, sensori-sensori mereka tidak terangsang, sehingga dalam perkembangannya akan mengalami masalah,” Indri menambahkan. Karena itu, Indri mengatakan, sangat baik bagi anak, jika ia dibiarkan untuk mengeksplorasi apapun, asal ada pendampingan.
Hal lain yang tidak boleh, menurut Indri, adalah penetapan target untuk anak. “Kalau anak bersekolah karena ada target tertentu yang ingin dicapai, itu tidak boleh,” katanya. Indri mengungkapkan, banyak sekolah untuk anak usia tiga tahun yang sudah mengharuskan muridnya untuk mengenal angka dan huruf. “Kalau perlu harus bisa mengeja dua huruf. Itu terlalu dipaksakan,” kata Indri.
Padahal, tambahnya, yang perlu untuk anak adalah mengenal benar bentuk geometri tertentu. Karena sebetulnya, angka adalah pengembangan bentuk geometri dasar. Anak usia 2-3 tahun memang belum waktunya diajarkan menulis. “Yang diperlukan olehnya adalah program-program untuk mengembangkan kemampuan untuk pra membaca, pra menulis dan pra matematika,” ujarnya. Salah satu hal yang bisa dilakukan anak untuk mengembangkan kemampuan pra menulis adalah dengan bermain pasir. “Bermain pasir dapat menghidupkan otot-otot taktil di bagian tangan, yang baik untuk mempersiapkan anak menulis. Sama halnya dengan kegiatan meremas dan mencetak.
Jadi tidak dengan memaksa anak memegang pena, memintanya melemaskan tangan agar mudah digerakkan untuk menulis, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orangtua dulu,” Emmy menambahkan. Ia menegaskan anak tiga tahun tidak perlu bisa baca, tetapi siap membaca.” Artinya, anak tahu bahwa setiap benda punya nama,” tuturnya.
Demikian juga dengan kemampuan siap matematika. Tidak terlalu penting bagi anak untuk mengetahui hasil dari 3 X 1 = 3. Yang lebih penting bagi anak adalah anak memahami konsep dasarnya bahwa 1-nya ada 3 kali. Pada saat anak mengembangkan kemampuan pra hitung, menurut Emmy, anak dapat melakukannya dengan menyisihkan, mensortir, dan mengklasifikasikan sesuatu. “Hal-hal seperti itu dapat menjadi fundamen bagi anak untuk belajar matematika,” katanya. Karena itu menurut Emmy, orang tua perlu betul-betul meneliti ambisi guru serta visi dan misi sekolah untuk batita.
Golden Age
Menyekolahkan anak sedini mungkin, menstimulasi anak dengan berbagai permainan edukatif, memberi nutrisi otak dengan susu atau makanan bergizi lain yang dapat membantu pertumbuhan otak diupayakan oleh banyak orang tua di masa golden age anak. Tujuannya jelas, ingin menjadikan anaknya cerdas. Tetapi, tambahnya, selain kecerdasan, anak juga membutuhkan tiga gizi sekaligus; gizi fisik, gizi jiwa dan gizi spiritual.
Untuk itu, pemberian program yang holistik menurut Emmy adalah pilihan yang terbaik untuk anak. Yaitu yang dapat menyentuh otak, fisik, jiwa dan spiritual anak. Ada sekolah yang program otaknya bagus, tetapi tidak menggiatkan semua panca indera. Hanya duduk, diam dan mendengarkan. “Anak boleh menonton, anak juga harus berdiri bergerak, dan bisa merasakan,” tegas Emmy.
Pada masa golden age, menurut Emmy, seharusnya anak “diisi” dengan berbagai hal yang kita ingin agar dia bisa dapatkan di masa depan. Jadi tak melulu masalah kecerdasan anak yang harus menjadi prioritas. “Misalnya memberi pengertian pada anak untuk menyayangi teman, sayang sama mama dan papanya, sayang kepada lingkungan dan lain sebagainya,” katanya. Karena itu, jika ada anak yang memukul ibunya, Emmy mengingatkan agar orangtuanya tidak mendiamkannya begitu saja hanya karena alasan anaknya masih kecil.
Jadi, tambah Emmy, apa yang orangtua inginkan dari anaknya, maka jadikanlah sekarang. Golden age menurut Emmy adalah fondasi untuk semua hal, kebaikan, kecerdasan dan hal lainnya. “Tidak ada anak yang sukses di usia 0-3 atau 3-5 tahun. Tetapi semua bisa sukses mempersiapkan diri,” katanya.
?